Petani dan Program Kerja Satu Desa Satu Lumbung Rakyat


Robith Fahmi, Dok: Publis.
Saya dahulu mengimpikan bisa membuat terobosan dengan mengakomodir petani agar maju bersama. Caranya, patungan petani tiap panen, kemudian hasilnya dibuat untuk bangun pabrik penggilingan beras dan buat penjemuran. Setelah itu, petani tidak perlu lagi menjual hasil pertaniannya ke tengkulak dengan harga yang murah, digiling sendiri sampai menjadi beras, kemudian membuat merek beras sendiri 'Beras Rakyat'.
Nantinya, beras tersebut dijual ke pasar atau dititipkan ke toko-toko. Hasilnya lebih banyak meski prosesnya memakan waktu cukup panjang, dari hasil itu patungan lagi untuk membuat toko beras di tiap kecamatan. Jadi, jelas prosesnya dan pasarnya juga jelas, kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten agar Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan membeli beras rakyat tiap bulannya minimal 10 (sepuluh) Kilogram.
Tidak hanya itu, berbagai bantuan pemerintah yang berbentuk beras, diharuskan menggunakan beras rakyat. Tapi, setelah berdiskusi panjang dengan teman maupun petani, rupanya sulit untuk diwujudkan, banyak faktor 'X' yang akan membuat rencana itu sulit diwujudkan. Petani membutuhkan uang cepat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari dan membayar hutang.
Umumnya, petani yang hanya memiliki beberapa petak sawah dan hanya mengandalkan hasil pertanian, tidak cukup memenuhi kebutuhannya dalam jangka waktu 3 - 4 bulan sampai panen. Oleh sebab itu, mereka pinjam lebih dulu kepada tengkulak dengan jaminan hasil pertaniannya dijual ke mereka. Ini siklus yang rumit untuk dipatahkan perputarannya.
Bila ingin memutus mata rantai ini, harus memiliki modal yang cukup besar, pertama memberikan pinjaman dikala mereka butuh uang. Dan, kedua mendorong mereka agar bersedia menanam sayur mayur yang sekiranya cepat panen, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bila persediaan habis sebelum panen atau bisa juga dengan berternak.
Selain itu, masih banyak lagi faktor 'X' yang sulit untuk dipecahkan. Sehingga, angan-angan dulu bisa memecahkan persoalan petani kandas di tengah jalan. Kali ini, salah satu calon dalam program kerjanya ada satu desa satu lumbung rakyat. Tapi, saya tidak tau secara pasti bagaimana teknisnya nanti, namun bila terpilih dan program kerja itu diwujudkan, menurut saya itu keren.
Sebab selama ini, Jember dikenal dengan lumbungnya Tapal Kuda. Tapi, seiring berjalannya waktu, area persawahan kian terkikis dengan cepatnya pembangunan pemukiman. Beberapa tahun silam di Tegal Besar, selatannya Ponpes Darus Sholah masih hijau royo-royo saat baru musim tanam dengan hamparan padi. Tapi, sekarang semuanya sudah menjadi rumah padat penduduk.
Ini bukan hanya soal memenuhi kebutuhan pangan dan kian habisnya area persawahan. Tapi, juga masa depan petani di masa yang akan datang, bila mereka terus menerus mengalami kerugian saat panen, bukan tidak mungkin akan banting setir mencari pekerjaan lain ke ibu kota atau menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Dan, itu sudah diramalkan oleh Bung Karno, dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi bahwa nanti orang jawa akan imigrasi besar-besaran ke daerah lain termasuk luar negeri demi sebutir nasi.
Indonesia adalah negeri agraris, Jember sendiri rata-rata warganya petani, secara pasti persentase mungkin Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki datanya. Namun, saya pribadi mendukung penuh program untuk menjadikan program satu desa satu lumbung rakyat sebagai prioritas utama. Saya apresiasi pejabat pemerintah yang mencoba memerangi korupsi dan kebiasaan buruk birokrasi, meski tidak membangun sistem yang utuh. Tapi, ke depan yang perlu diperhatikan adalah sektor pertanian.
'Petani Kuat, Rakyat Kenyang'
Ditulis oleh:
Robith Fahmi, M.Pd